Senin, 21 Maret 2011

A. PENGERTIAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN
1) Pengertian Iman
Secara Etimologi Iman merupakan bentuk musytaq dari al-amnu yang berarti keamanan, kedamaian dan merupakan lawan kata al-khauf, yang berarti ketakutan, kekhawatiran, larangan . Iman berarti juga percaya atau membenarkan .
Sedangkan menurut pengertian terminology Iman berarti tashdiq, pembenaran dalam hati dan diikrarkan dengan lisan, sehingga percaya akan kebenaran adanya Allah, lebih bersifat pasif, dari hati dan lisan. Sebagaimana disebut Q.S. al-Baqarah ayat 136:
 •                   •           
"Katakanlah (hai orang-orang mu`min), Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya dan apa yang diturunkan kepada Musa serta apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya "

2) Pengertian Islam
Islam secara bahasa berasal dari kata Aslama, kata dasarnya salima, yang berarti sejahtera, tidak bercacat. Dari kata tersebut terbentuklah bentuk masdarnya yang berupa Islam, yang berarti selamat, sejahtera, damai, tidak bercela, serta patuh dan berserah diri.
Dari uraian kata-kata itu pengertian Islam dapat dirumuskan: “taat atau patuh dan berserah diri kepada Allah”. Dengan penyerahan diri dan kepatuhan secara meneyeluruh itulah kemudian terjadi salam/selamat yang akhirnya menjadi lafadz Islam.
Sedangkan Islam secara Istilah adalah ketundukan dan kepatuhan kepada ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini berarti Islam adalah aplikasi dari keimanan yang berbentuk tindakan.

3) Pengertian Ihsan
Menurut bahasa Ihsan berasal dari kata (إِحْسَانًا يُحْسِنُ أَحْسَنَ) yang berarti berbuat baik. Sedang menurut istilah ihsan dapat artikan sebagai pengabdian kepada Allah SWT yang dilandasi oleh kesadaran dan keikhlasan. Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, yang artinya:
"Ihsan adalah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun kamu tidak melihatnya, maka (yakinilah) sebenarnya Ia maha melihatmu".(HR. Bukhari)
Ulama' mengklasifikasikan Ihsan ke dalam empat bagian, yaitu:
a. Ihsan kepada Allah
Yaitu dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Walaupun Allah tidak butuh kepada perbuatan baik kita, dan tidak merasa hina dengan kejelekan yang kita lakukan.
b. Ihsan kepada diri sendiri,
Yaitu dengan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi diri kita sendiri, seperti belajar-mengajar dan lain sebagainya.
c. Ihsan kepada sesama manusia,
Yaitu dengan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama.
d. Ihsan bagi sesama makhluq dengan menjaga hak -hak mereka.

B. HADITS TENTANG IMAN, ISLAM, DAN IHSAN
1. Hadits yang memuat tentang Iman, Islam dan Ihsan
َﻋنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . [رواه مسلم]

Artinya: Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)

Keterangan hadits:
Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya”. Mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.
Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.
Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.
Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rasululloh.
Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96:
    
“Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu”
dan dalam QS. Al-Qamar : 49,
 •    
“Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu”
dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”
Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.
Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah.
Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya?”. Sabda beliau : “Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.
Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan”
Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar radhiallahu ‘anh tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.
Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah Ta’ala.
Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4,
  • 
“Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”.
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”
Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.
Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, Syaikh Abu ‘Umar berkata, “kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran”. Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam.
2. Hadits yang memuat tentang Iman
ﺍﻓﻀﻞ ﺍﻹﻴﻤﺍﻥ ﺍﻥﺗﻌﻠﱠﻢ ﺍﻥﱠ ﺍﷲ ﻣﻌﻚ ﺣﻴﺜﻤﺍ ﻛﻨﺖ (ﺭﻮﺍﻩ ﺍﻠﻄﺑﺮﺍﻧﻲ)
Iman yang paling Afdhol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada. (HR. Ath Thabrani)
3. Hadits tentang Islam
ﻗﺍﻝ ﺳﻔﻴﺍﻥ ﺑﻥ ﻋﺒﺪﺍﷲ: ﻗﻠﺖ ﻳﺍ ﺭﺳﻮﻝﺍﷲ ﻗﻞ ﻟﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻗﻮﻻ ﻻﺃﺳﺃﻝ ﻋﻨﻪ ﺍﺣﺪﺍ ﻏﻴﺮﻙ. ﻗﺍﻝ: ﻗﻞ ﺁﻣﻨﺖ ﺑﺍﷲ ﺛﻢﱠ ﺍﺳﺘﻗﻢ ﴿ﻣﺴﻠﻢ﴾
Sufyan bin Abdullah berkata:”Ya Rasulullah, terangkan kepadaku tentang Islam. Aku tidak akan bertanya lagi kepada orang lain. “lalu Rasulullah SAW menjawab, “Ikrarkanlah:”Aku beriman kepada Allah, kemudian berlakulah jujur (istiqomah).” (HR. Muslim)
C. HUBUNGAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain .
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan .
D. PENGERTIAN KEBAJIKAN ATAU AL BIRR.
Banyak pendapat mengenai makna sebuah kebaikan akan tetapi pada dasarnya sama kebaikan adalah melakukan suatu hal yang apabila kita melakukannya maka hati kita akan merasa tentram. Berbeda dengan dosa, yaitu yang apabila kita melakukannya maka hati kita akan merasa gelisah atau tidak tenang.
Allah SWT telah berfirman dalam Al Quran yang berbunyi
“ Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu merupakan suatu kebaikan, akan tetapi, sesungguhnya kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang yang meminta-minta; memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:177).
Jadi, berdasarkan ayat di atas, kebaikan sesungguhnya adalah takut kepada Allah, tetap mengingat hari pembalasan, mengikuti hati nurani, dan selalu melakukan perbuatan yang akan diridhai Allah. Maka, bukanlah kebaikan bila kita merusak subtansi akidah kita dengan memberikan toleransi seluas-luasnya terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari risalah tauhid yang diajarkan Rasulullah Saw. Jelasnya, tidak ada toleransi jika menyangkut “teritorial” akidah kita.

E. HADITS TENTANG BEBAJIKAN ATAU ALBIRR
Hadits Arbain Annawawiyah no.27
Dari An-Nawwas bin Sam'an ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, "Kebajikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal dalam jiwamu dan engkau tidak suka bila hal itu terlihat oleh manusia (orang lain)" (HR Muslim).
Dan dari Wabishah bin Ma'bad ra, ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?' Saya menjawab,’Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu'"(Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan").

Takhrij hadits
Hadits Arba'in An-Nawawiyah yang ke-27 ini terdiri atas dua hadits:
a. Hadits yang diriwayatkan dari sahabat Nabi, An-Nawwas bin Sam'an. Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Al-Birru wash Shilah, bab Tafsirul Birri wal Itsmi, hadits nomor 25539.


b. Hadits yang diriwayatkan dari sahabat Nabi, Wabishah bin Ma'bad. Hadits ini menurut Imam Nawawi adalah hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (IV/228), dan oleh Imam Ad-Darimi, juga alam Musnad-nya (II/245-246).
Kedudukan dan kandungan hadits
Hadits ini, sebagaimana dinyatakan Ibn Hajar al-Haitami (909–973 H), merupakan ucapan Rasulullah saw yang singkat dan penuh makna. Bahkan termasuk ucapan yang paling singkat. Sebab hadits ini menjelaskan tentang persoalan yang sangat strategis dalam Islam, yaitu masalah “kebajikan”dan “dosa” dan cara mengenalinya.
Dua hadits ini memuat banyak pelajaran, di antaranya:
1. Definisi dan pengertian tentang al-birr (kebajikan)
2. Definisi dan pengertian tentang al-itsm (dosa)
3. Penjelasan tentang akhlak baik (husnul khuluq)
4. Cara mengenal dan mengetahui kebajikan dan dosa
5. Kepada siapa meminta fatwa, kepada ulama atau cukup kepada hati saja?
Dua definisi kebajikan
Dua hadits yang merupakan hadits ke-27 dari kitab Arba'in An-Nawawiyyah ini di antaranyamenjelaskan tentang al-birru (kebajikan). Ada dua definisi yang disampaikan dua hadits ini, yaitu:
1. Yang dimaksud al-birru adalah husnul khuluq (berakhlak yang baik),
2.Kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang.
Dari dua definisi di atas, apakah ada kontradiksi? Tidak. Sebab, dua definisi di atas dikemukakan Rasulullah saw dalam sudut pandang serta konteks yang berbeda; yang pertama adalah definisi yang bersifat umum, sedangkan yang kedua adalah definisi yang dipakai saat seseorang dihadapkan pada dilema dan mesti menentukan pilihan.

Luasnya pengertian kebajikan
Dalam definisi pertama Rasulullah saw menjelaskan, yang dimaksud al-birru (kebajikan) adalahhusnul khuluq (berakhlak yang baik). Definisi ini sangat luas dan mendalam, sebab husnul khuluq itu mencakup:
1. Husnul khuluq terhadap Allah swt.
2. Husnul khuluq terhadap sesama manusia.
3. Husnul khuluq terhadap sesama makhluk (ciptaan) Allah swt.
Husnul khuluq (berakhlak baik) terhadap Allah swt, mencakup dua hal:
1.Menerima segala hukum syar'i yang datang dari Allah swt dengan ridha, penuh kepasrahan dan ketundukan serta tidak ada rasa sempit jiwa dan sesak dada, sebagaimana dijelaskan dalam QS An-Nisa': 65.
2.Menerima segala hukum kauni (qadha' dan qadar) Allah swt dengan keyakinan bahwa semua itu berdasar kepada keadilan Allah swt serta menyikapinya dengan penuh kesabaran.

Dengan bahasa lain, meminjam istilah yang digunakan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, husnul khuluq kepada Allah berarti:
1. Fi'lul ma'mur (menjalankan perintah Allah),
2. Tarkul mahzhur (meninggalkan larangan Allah), dan
3. Ash-Shabru 'alal maqdur (bersabar atas qadar atau takdir).
Husnul khuluq (berakhlak baik) terhadap sesama makhluk Allah, baik dari kalangan manusia maupun lainnya, mencakup segala bentuk kebajikan. Kebajikan ini bisa berupa kebajikan kepada kedua orang tua, biasa disebut birrul walidain, dan kebajikan mencakup juga segala bentuk pengaruh positif dari sebuah amal ibadah. Untuk hal ini, ada istilah haji mabrur, sebuah istilah yang menggambarkan segala bentuk kebajikan yang mesti ada pada seseorang seusai ia menunaikan ibadah haji, baik kebajikan yang berhubungan dengan Allah maupun sesama manusia.
Ada pula istilah bai'un mabrur (jual beli yang mabrur). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan akad jual beli yang dilaksanakan sesuai syariat Allah dan tentunya membawa dampak yang positif bagi penjual dan pembelinya.
Orang-orang yang selalu berbuat al-birr disebut al-abrar dan Allah swt menjanjikan mereka berbagai kebajikan di akhirat yang merupakan balasan atas kebajikan yang selama ini dilaksanakannya di dunia. Perhatikan QS Al-Insan: 5, QS Al-Infithar: 13, QS Al-Muthaffifin: 18 dan 22.
Luasnya pengertian dan cakupan al-birr ini juga terdapat dalam Al-Qur'an, di antaranya QS Al-Baqarah: 177. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-birr mencakup:
1.Iman kepada Allah swt, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan iman kepada hari akhir.
2.Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, orang yang meminta serta menggunakan harta tersebut untuk memerdekakan budak.
3.Menegakkan shalat dan membayar zakat.
4.Memenuhi segala bentuk perjanjian.
5.Bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan.
Perintah untuk bekerja sama dalam kebajikan
Banyak ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad saw yang memerintahkan manusia untuk melakukan segala bentuk al-birr (kebajikan). Bukan itu saja, Al-Qur'an juga memerintahkan kita untuk ber-ta'awun (bekerja sama dan bermitra) dalam segala bentuk al-birr atau kebajikan ini. Perintah ini di antaranya terdapat pada QS Al-Maidah: 2.
Yang demikian ini diperintahkan agar al-birr (kebajikan) bisa benar-benar diwujudkan dan dipraktikkan, bukan hanya dalam skala pribadi atau perseorangan, melainkan juga dalam konteks yang sangat luas dan merata di semua lapisan masyarakat. Juga pelaksanaannya terasa ringan dan tidak berat–sebab banyak kawan yang juga melakukannya–dan sarana prasarananya tersedia dan mudah didapat.

Kerja sama ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya:
1. Seorang yang berilmu hendaklah menolong dengan ilmunya, yaitu dengan mengajarkannya kepada yang tidak berilmu.
2. Orang yang mempunyai harta hendaklah menolong dengan hartanya dan membantu yang fakir dan miskin melalui zakat, infaq, dan sedekah.
3. Orang yang memiliki kekuatan dan keberanian, menolong dengan kekuatan dan keberaniannya.
Singkatnya, hendaklah manusia dalam kebaikan ini ibarat satu tubuh satu tangan. Saling menopang, saling mendukung dan saling membantu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw dalam banyak hadits lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Ied, Ibnu Daqiq. 2001. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. Yogyakarta: Media Hidayah
Almath, Muhammad Faiz. 2008. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani
http://ainuamri.blogspot.com/2010/12/islam-iman-dan-ihsan.html
http://www.alquran-sunnah.com/artikel/hadits-arbain.html?start=5
http://www.cybermq.com/pustaka/detail/hikmah/646/-berlomba-lombalah-dalam-kebaikan-bag-2
http://www.muslim.or.id
http://www.ummi-online.com/artikel-77-tentang-kebajikan-hadits-arbain-nomor-27-bag1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar